PAGES

Monday, 21 April 2014

RA Kartini : Tokoh Emansipasi Wanita Indonesia





Setiap tanggal 21 April Indonesia memperingati hari Kartini. Pada hari itu masyarakat Indonesia mulai dari siswa sekolah hingga pegawai perusahaan memiliki kebiasaan mengenakan berbagai macam baju daerah yang ada di Indonesia sebagai cara memperingati hari Kartini. 


RA Kartini adalah seorang tokoh emansipasi wanita Indonesia. Lahir di Jepara (Jawa Tengah) pada tanggal 21 April 1879 dan wafat dalam usia 25 tahun pada tanggal 17 September 1904. Ia memiliki seorang putra tunggal bernama RM Soesalit yang di kemudian hari menjadi Mayjen RM Soesalit, seorang mantan Panglima Divisi III / Diponegoro (1 Oktober 1946 - 1 Juni 1948). Ketika RA Kartini wafat, putranya masih berusia sekitar satu bulan. 

RA Kartini berasal dari keluarga aristokrat Jawa. Ayahnya adalah seorang bupati Jepara bernama RM Adipati Ario Sosroningrat. RA Kartini bersekolah hingga usia 12 tahun di ELS atau Europese Lagere School kemudian dipingit sebagaimana kebiasaan keluarga bangsawan Jawa terhadap anak perempuan pada masa itu. Hal ini menjadi pergolakan bathin RA Kartini karena ia seorang yang berpikiran maju dan cerdas yang memiliki kegemaran membaca buku-buku dan surat kabar berbahasa Belanda mengenai berbagai hal. Ia pernah memiliki rencana untuk bersekolah di Belanda, kemudian juga pernah berencana masuk sekolah kedokteran di Batavia (Jakarta), termasuk melanjutkan studi untuk menjadi guru di Batavia, namun semuanya tak tercapai. Tampaknya beliau tak mendapatkan jalan yang mulus dari keluarganya. Padahal bagi RA Kartini pendidikan adalah hal yang utama. Kepada sahabat-sahabatnya di Belanda ia sering mengungkapkan isi hatinya yang sangat menyiksa bathinnya ini. RA Kartini juga seorang yang menentang poligami, namun ia terpaksa menuruti kehendak keluarganya yang menikahkannya dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang bupati Rembang yang telah memiliki tiga istri. Akibat pernikahannya dalam tahun 1903 ini, RA Kartini tak dapat mewujudkan cita-citanya untuk melanjutkan studinya. Namun demikian, suaminya memberikan jalan kepadanya untuk mendirikan sekolah wanita untuk pribumi di kabupaten Rembang. Setahun kemudian beliau wafat yakni beberapa hari setelah melahirkan puteranya. 

Surat-surat RA Kartini kepada sahabat-sahabatnya kemudian diterbitkan menjadi buku untuk pertama kalinya berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" dalam tahun 1922, yang kemudian diperbarui lagi dalam tahun 1938 oleh Armijn Pane. Kemudian dalam tahun 1964, Presiden Soekarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia.

Mempelajari kisah RA Kartini adalah sesuatu hal yang sangat menyedihkan. Bagaimana seorang wanita yang cerdas dan bercita-cita tinggi diputus di tengah jalan begitu saja sehingga tak dapat mewujudkan cita-citanya. Ini adalah hal yang biasa terjadi di tanah Jawa pada masa itu. Namun anehnya, jika kita menengok pada zaman yang jauh lebih kuno lagi, tepatnya pada masa kerajaan Majapahit dan pada masa-masa sebelumnya, justru beberapa kali tanah Nusantara (Indonesia) dipimpin oleh raja-raja wanita (Ratu) yang cakap memimpin kerajaan. Hal ini menunjukkan pada zaman yang lebih kuno lagi justru tak ada diskriminasi antara pria dan wanita di tanah Nusantara. Salah satu Ratu yang terkenal adalah Ratu Tri Buana Tungga Dewi yang memerintah kerajaan Majapahit selama 22 tahun (1328 - 1350). Beliau adalah ibunda Prabu (Raja) Hayam Wuruk. Dalam masa Ratu Tri Buana Tungga Dewi, kerajaan Majapahit mulai menunjukkan kejayaannya dan Maha Patih Gajah Mada yang mendampinginya kala itu mengeluarkan sumpah Palapa yang sangat terkenal. Majapahit adalah simbol kejayaan, kebesaran, kekuatan dan kemakmuran Nusantara. Setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Nusantara mengalami kemerosotan yang sangat luar biasa drastis hingga mudah dijajah selama beratus-ratus tahun. 

Kembali pada RA Kartini, beliau menjadi simbol perjuangan wanita Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan pria. Kini, lebih dari seratus tahun setelah wafatnya RA Kartini, wanita Indonesia telah mendapatkan kesempatan yang sama dengan pria dalam menempuh pendidikan yang setara bahkan termasuk memasuki bidang-bidang sulit yang tak terpikirkan sebelumnya pada masa RA Kartini. Bangsa yang maju adalah bangsa yang tak melakukan diskriminasi antara pria dan wanita, karena keduanya berperan membangun bangsa dan negara dan akan lebih mempercepat kemajuan bangsa dan negara. 


source : berbagai sumber
image is the courtesy of Tropen Museum Netherlands via Wikimedia commons
read also : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/04/25/222962

Rosie Soemardi